Pemandangan Indah di Bukit Klangon

 


Hampir empat pekan Adinata menempa diri di hutan larangan Merapi. Iapun tidak berkirim kabar tentang keberadaannya. Acara pengukuhan dirinya sebagai pemimpin perguruan harimau merapipun belum dilaksanakan. Adapun para tamu undanganpun semuanya sudah hadir. Ki Adanu beserta para muridnya dari perguruan tebing Breksi, Ki Gede Aryaguna dari dusun Hargowilis orangtua dari Ambarwati, Ki Bangor dari pantai watu kodok orangtua dari Maheswari, Tumenggung Sadawira dan senopati Puspanidra dari kerajaan Mataram, serta Kakek Darma dan Nini Wilis dari Gunung Api Purba Nglanggeran. Namun karena mereka telah mendengar bahwa akan ada pertarungan di bukit Klangon pada malam bulan purnama, mereka tetap menunggu dan menginap di padepokan lereng merapi.

Di suatu sore hari, tepat dua malam menjelang pertandingan di bukit Klangon, Ambarwati dan Maheswari sedang berbincang-bincang di taman di belakang padepokan. Mereka duduk di kursi taman di bawah pohon rambutan yang sedang berbuah lebat. "Mbakyu, ini bagaimana, terus terang saya khawatir, dua hari lagi pertandingan akan segera dimulai namun kakang Adinata belum pulang juga" kata Maheswari. "Tenang Nimas, aku yakin dengan kakang Adinata, ia pasti akan segera pulang dan memenuhi janjinya untuk bertanding dengan pendekar Andalas" berkata Ambarwati berusaha menenangkan Maheswari yang masih sedikit kekanak-kanakan. Ambarwati sangat sayang dengan Maheswari. Ia sudah menganggap Maheswari seperti adik kandungnya sendiri. "Memang kamu kangen ya dengan kakang Adinata?" tanya Ambarwati. "Iya mbakyu" jawab Maheswari sambil tertunduk malu. "Memang mbakyu tidak kangen?" tanya Maheswari menyelidik. Ambarwati cuma tersenyum. Jauh dilubuk hatinya, ia sangat kangen dengan Adinata dan mengkhawatirkannya, namun ia berusaha untuk menutupinya.

"Ahem-ahem" Adinata batuk dibuat-buat. Sontak Ambarwati dan maheswari menengok keatas di pohon rambutan. Mereka melihat Adinata yang sedikit tertawa sambil makan buah rambutan. Ambarwati terkejut, namun ia segera tersadar dari keterkejutannya. "Bisa turun tidak kakang" teriak Ambarwati sambil mengepalkan tangan pura-pura marah. "Baik nimas" jawab Adinata seraya meloncat turun. "Kalian kangen denganku ya?" berkata Adinata sambil pura-pura menyombongkan diri. "Siapa yang kangen, biasa saja" jawab Ambarwati dan Maheswari hampir bersamaan. "Nah loh" goda Adinata lagi. Kemudian ketiganya tertawa riang gembira.

"Nimas Ambarwati, bagaimana dengan latihan murid-murid padepokan lereng merapi, apakah mereka telah siap menghadapi pertandingan?" tanya Adinata dengan serius. "Iya kakang, perkembangan latihan sangat baik. Mereka menunjukkan semangat yang tinggi untuk maju" kata Ambarwati. "Baguslah kalau begitu" kata Adinata lega. "Kakang, ada yang ingin aku sampaikan" kata Ambarwati agak ragu. "Ada apa, sampaikan saja, tidak usah ragu" sahut Adinata. "Begini kakang, saudara seperguruanku datang dari tebing breksi, dan mereka ingin membantu kita. Tapi mohon maaf sebelumnya kakang jika saya lancang, saya juga turut melatih mereka dengan ciri khas perguruan kita" berkata Ambarwati sambil sedikit merasa bersalah tahut Adinata marah. "Oh, itu Nimas, tidak apa-apa mereka berlatih jurus kita, toh perguruan lereng merapi dan perguruan tebing breksi mempunyai kakek guru yang sama" kata Adinata. "Terimakasih kakang atas pengertiannya" kata Ambarwati lega.

"Ih, bau apa ini, kakang belum mandi ya" kata maheswari sambil pura-pura menutup hidung. "Oh iya, kakang lupa, kakang belum mandi sehari ini" jawab Adinata sambil sedikit tertawa. "Pantesan, buruan sana mandi gih, sudah ada air hangat untuk kakang mandi" kata Maheswari sambil sedikit pura-pura marah. "Iya cah ayu, aku jadi tidak sabar segera halalin kalian berdua" kata Adinata sambil sedikit merayu. "Yee, maunya" jawab Maheswari sambil pura-pura marah. Ambarwati yang melihat tingkah Maheswari cuma tersenyum melihatnya. Bagaimanapun jauh dilubuk hatinya yang terdalam, ia ingin sekali pernikahan itu segera terjadi.

Ketika Adinata sudah selesai mandi dan berganti pakaian  Ambarwati segera mendekatinya. Sepertinya ada sesuatu yang penting. "Kakang nanti malam selepas Isya kakang diajak berbincang-bincang sekalian makan malam bersama dengan seluruh tamu undangan di pendopo padepokan. Kakang bisa kan? tanya Ambarwati. "Oh, bisa Nimas, sebetulnya aku juga sudah kepikiran untuk menemui para tamu undangan tapi kan nimas tahu sendiri kakang baru datang" jawab Adinata sedikit tidak enak hati. "Iya kakang, yang penting nanti malam kakang bisa datang menemui mereka" kata Ambarwati menentramkan.

Selepas Isya Adinata langsung bergegas menuju pendapa padepokan. Disana para tamu undangan terutama bapak-bapak dan para pemuda sedang duduk-duduk santai. Sedangkan Ibu-ibu dan para pemudi ada yang beristirahat, ada yang mengobrol di dalam padepokan atau membantu memasak di dapur. "Mari Ngger, duduk sini" sapa Ki Satya begitu melihat Adinata sudah datang. "Baik guru" jawab Adinata dengan sopan. Adinatapun segera datang dan sungkem kepada Ki Satya gurunya, Ki Paramudya orangtuanya, Ki Adanu guru dari padepokan tebing breksi, Ki Gede Aryaguna dari dusun Hargowilis orangtua dari Ambarwati, Ki Bangor dari pantai watu kodok orangtua dari Maheswari, Tumenggung Sadawira dan senopati Puspanidra dari kerajaan Mataram, serta Kakek Darma dari Gunung Api Purba Nglanggeran. "Adinata, bagaimana kabarmu nak" tanya Ki Gede Aryaguna. "Alhamdulilah Ananda baik-baik saja bopo" jawab Adinata dengan hormat dan penuh tata krama.


"Adinata, sebenarnya ada yang ingin sekali aku tanyakan?" kata Ki Gede Aryaguna. "Apakah itu Bopo, sampaikanlah, Insyaallah ananda akan menjawabnya" jawab Adinata. "Begini nak, kamu kan sudah lama dekat dengan Ambarwati, saya ingin sekali mengetahui keseriusanmu, kapankah kamu akan menikahinya?" tanya Ki Gede Aryaguna serius. "Iya Bopo, saya bersedia menikahi Ambarwati dalam waktu dekat ini, namun untuk persiapan dan lain-lain, saya serahkan kepada Bopo saya Ki Paramudya dan Bopo Ki Gede Aryaguna untuk berembug" jawab Adinata dengan tegas tapi sopan. "Baguslah kalau begitu nak, Bopo lega mendengarnya" sahut Ki Gede Aryaguna mengangguk-angguk puas dengan jawaban Adinata. "Tapi Bopo, ada yang ingin aku sampaikan" kata Adinata agak ragu takut menyinggung Ki Gede Aryaguna. 'Sampaikanlah ngger anaku, tidak perlu takut?" kata Ki Gede Aryaguna. "Begini Bopo, karena suatu peristiwa di pantai watu kodok, ananda telah berjanji menikahi nimas Maheswari putri satu-satunya dari Ki Bangor, menurut Bopo bagaimana?" tanya Adinata sambil sedikit takut. "Tenanglah nak, bopo sudah mendengar ceritanya dengan rinci, dan itu murni bukan kesalahanmu, kamu hanya berusaha menegakkan kebenaran, masalah ini biar Bopo, Bopomu Ki Paramudya, Ki Satya dan Ki Bangor yang akan berembug untuk menyelesaikan bagaimana sebaiknya" jawab Ki Gede Aryaguna. KI Paramudyam Ki Bangor dan Ki Satya mengangguk tanda menyetujui ucapan Ki Gede Aryaguna.

"Ngger Adinata, bagaimana dengan latihanmu, sudah siapkah kamu menghadapi para pendekar Andalas terutama Datuk Rajo Awan dan murid utamanya Dubalang Mudo?" tanya Ki Satya. "Berkat doa restu Ki Satya dan para tetua disini insyaallah ananda sudah siap menghadapi pertandingan ilmu kanuragan di Bukit Klangon" jawab Adinata dengan mantap. "Syukurlah ngger, saya sangat percaya dengan kemampuanmu, jika kamu menyatakan sudah siap, berarti kamu memang sudah cukup yakin dengan kemampuanmu dan kami para orangtuamu hanya bisa mendoakanmu agar bisa berjaya di bumi mataram ini" berkata Ki Satya bangga. "Terimakasih guru, doa guru beserta para tetua disini akan memudahkan langkah ananda menghadapi segala rintangan yang akan dihadapi" jawab Adinata sambil menunduk penuh hormat.

Para penduduk desa yang mendengar akan ada pertandingan di bukit Klangonpun sudah berdatangan. Mereka datang berbondong-bondong dari seluruh penjuru kerajaan Mataram. Mereka sudah mendengar nama besar Adinata yang berjuluk harimau muda dari mataram.  Mereka sangat penasaran dengan adu ilmu tingkat tinggi yang akan diperagakan oleh kedua perguruan yaitu padepokan lereng merapi dan pendekar Harimau dari gunung Kerinci. Oleh pihak padepokan mereka dibuatkan tenda-tenda yang layak untuk tempat menginap sementara di sekitar padepokan. Makan dan minum sudah disediakan oleh padepokan, namun ternyata para tamu itu juga sudah membawa bekal sendiri sehingga tidak terlalu merepotkan. Ramainya para pengunjung juga nebgundang para pedagang makanan dan minuman musiman untuk datang berjualan. Bahkan penjual pakaianpun juga ada. Ternyata pertandingan yang akan diselenggarakan di bukit klangon membawa berkah bagi para pedagang baik dari penduduk sekitar ataupun saudagar dari jauh.

Satu hari menjelang pertandingan di bukit klangon, Datuk Rajo Awan beserta murid-muridnya dari perguruan silat harimau kerinci datang ke padepokan lereng merapi. Ki Satya dan tamu undangan yang lain bergegas berdiri dan datang menyambut tamu dari pulau Andalas itu. Menyadari bahwa ia dan murid-muridnya diterima dengan baik, Datuk Rajo Awanpun bergegas turun dari kudanya diikuti Dubalang Mudo. "Selamat datang Datuk, senang bisa bertemu kembali" sapa Ki Satya dengan ramah. "Terimakasih Tuan, kedatangan kami hanya ingin memastikan terselenggaranya acara pertandingan di bukit klangon esok hari" berkata Datuk Rajo Awan. "Oh tentu Datuk, marilah kita bermusyawarah di pendopo, mari silahkan para para pendekar dari Andalas beristirahat di pendopo, kami akan menyediakan makan dan minum seadanya untuk menjamu tuan" kata Ki Satya. "Berbudi sekali engkau  Tuan, baiklah kami tidak akan menyia-nyiakan kebaikan saudara" jawab Datuk Rajo Awan. "Dubalang Mudo, ajak adik seperguruanmu untuk beristirahat di pendopo" perintah Datuk Rajo Awan. "Baik guru, akan saya laksanakan" jawab Dubalang Mudo. Iapun segera bergegas memberi isyarat kepada seluruh adik seperguruannya untuk beristirahat di pendopo padepokan lereng merapi.

Tidak berapa lama kemudian para pemuda segera menghidangkan aneka makanan dan minuman yang telah dipersiapkan oleh ibu-ibu dan para pemudi di dapur. Untuk makanannya sendiri ada jadah tempe yang menjadi ciri khas daerah lereng merapi, wajik ketan, apem, nogosri, lemper, sagon dan masih banyak lagi. Minumannyapun ada beraneka macam seperti wedang sereh, wedang jahe, kopi panas, teh hangat, air kelapa muda dan lain-lain. "Mari silahkan dinikmati Datuk, tuan-tuan semua" ujar Ki Satya mempersilahkan. "Terimakasih sekali Tuan, budi baikmu tentu akan kami kenang selamanya" jawab Datuk Rajo Awan tersentuh dengan kebaikan orang-orang lereng merapi.

"Oh ya Datuk, untuk urusan pertandingan biarlah anak-anak muda yang mengaturnya. Bagaimana, apakah datuk setuju" tanya Ki Satya memberi saran. "Setuju tuan, saya mewakilkan murid saya Dubalang Mudo beserta adik-adik seperguruannya untuk bermusyawarah" jawab Datuk Rajo Awan. "Bagaimana Dubalang Mudo, apakah kamu bersedia mewakiliku mengurus pertandingan?" tanya Datuk Rajo Awan. "Siap guru, akan saya laksanakan sebaik-baiknya" jawab Dubalang Mudo. "Cuma dengan siapa saya berunding?" tanya Dubalang Mudo. "Baiklah anak muda, saya mewakilkan pada Angger Adinata, calon ketua perguruan harimau merapi untuk berunding, bagaimana nak, apakah kamu bersedia?" tanya Ki Satya. "Ananda siap guru" jawab Adinata. 

"Baiklah Ngger, silahkan kamu berunding dengan Tuan Dubalang Mudo, biar kami yang tua-tua ini beristirahat sambil berbincang-bincang" Kata Ki Satya. "Baiklah guru" jawab Adinata. "Mari tuan Dubalang Mudo, kita jalan-jalan ke Bukit Klangon untuk melihat situasi disana, sambil kita ngobrol apa saja yang perlu kita atur dan sepakati bersama. "Baik Tuan Adinata, tapi ijinkan aku membawa keempat adik seperguruanku" jawab Dubalang Mudo. "Oh ya, tentu saja, kalau boleh tahu, siapa sajakah mereka?" tanya Adinata. "Yang paling tua namanya Ghazaar, kemudian lebih muda lagi Junada, Adiputera, dan ada satu adik seperguruanku perempuan namaanya Zaheera" kata Dubalang Mudo memperkenalkan keempat adik seperguruannya. "Oh ya, ijinkan saya juga akan membawa keempat adik seperguruanku,  yang tertua namanya Bhadrika, kemudian lebih muda adaNismara, Wilalung, dan 1 adik seperguruanku perempuan bernama Indraswari.

Adinata dan Dubalang Mudo beserta adik seperguruan masing-masing berjalan kaki menuju ke bukit klangon. Bukit Klangon atau masyarakat menyebutnya Bukit Glagaharjo menyajikan pemandangan yang sangat mempesona dengan latar belakang kegagahan Gunung Merapi dan alam asri sekitarnya. Dubalang Mudo dan keempat adik seperguruannya tampak menikmati sekali keindahan alam sekitar saat perjalanan menuju ke bukit klangon. "Hmm, cantik sekali pemandangannya tuan Adinata" kata Dubalang Mudo memuji keindahan alam di lereng merapi. "Terimakasih tuan" jawab Adinata membalas pujian Dubalang Mudo.

Sesampainya di bukit klangon, ternyata suasana sudah sangat ramai. Banyak para penduduk desa dari seluruh pelosok mataram dan para pelancong sengaja datang ke bukit klangon untuk melihat pertarungan antara pendekar harimau merapi dan pendekar harimau dari gunung kerinci. Sembari menunggu, mereka banyak yang mendirikan tenda untuk sekedar berteduh dari hujan dan cuaca panas. Ada diantara para penduduk desa dan para pelancong itu yang memasak sendiri untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum namun ada yang tidak. Oleh karena itu para penduduk desa disekitar bukit klangon banyak yang memanfaatkan kesempatan ini untuk berjualan makanan dan minuman, ada juga yang menjual baju ataupun aneka mainan anak, makanan khas daerah lereng merapi seperti jadah tempe, slondok dan salak pondoh juga banyak yang menjualnya.

"Datuk Dubalang Mudo, maukah tuan dan adik-adik seperguruan tuan untuk mampir ke warung tenda dan sekedar minum kopi sambil berbincang-bincang?" tanya Adinata menawarkan. "Oh baik, terimakasih sekali tuan kebetulan saya sudah kehausan setelah berjalan kaki lumayan jauh" jawab Dubalang Mudo.  Adinata kemudian menunjuk ke salahsatu warung yang kelihatannya masih agak kosong tempatnya. Bersepuluh mereka kemudian minum kopi sambil makan jadah tempe makanan khas kawasan lereng merapi.

"Monggo Den, silahkan duduk" ujar Mbok Minah pemilik warung mempersilahkan. "Mbok, tolong buatkan minuman hangat untuk kami bersepuluh" kata Adinata. "Baik Den" jawab Mbok minah dan langsung dengan cekatan segera menyiapkan teh panas untuk pelanggan warungnya. "Mbok disini ada mi godok tidak?" tanya Adinata lagi. "Ada Den, mau dibuatkan berapa mangkuk?" jawab Mbok Minah. "Buatkan juga sepuluh mangkuk mie godok" jawab Adinata. "Mari silahkan semua boleh ambil makanan yang kalian suka nanti biar saya yang bayar" ujiar Adinata. "Terimakasih kakang" jawab adik-adik seperguruannya. "Terimakasih Tuan" ujar Dubalang Mudo mewakili adik seperguruannya. Sambil menunggu mie godok matang, mereka bersepuluh asyik makan kacang rebus dan aneka jajanan khas lereng merapi seperti wajik tempe, slondok renteng, sate kelinci dan masih banyak lagi.

"Oh ya Datuk, bagaimana rencana pertandingan silat yang akan kita selenggarakan ini, apakah sudah ada gambaran?" tanya Adinata. "Terus terang saya belum ada gambaran sampai saat ini, kalau tuan bagaimana?" tanya Dubalang Mudo balik. "Menurut pendapat saya datuk, acara pertama yaitu pertunjukan silat yang menjadi ciri khas perguruan, kemudian dilanjutkan pertandingan silat mulai dari tingkatan bawah sampai tingkatan yang paling tinggi, bagaimana menurut datuk?" tanya Adinata. "Baiklah saya setuju tuan, cuma saya memberi syarat bahwa kita bebas memilih perwakilan dari perguruan kita masing-masing untuk bertanding" jawab Dubalang Mudo. "Baiklah, kita sepakat datuk, sekarang mari kita sedikit merayakan hasil perundingan kita ini dengan makan dan minum diwarung ini" ajak Adinata. "Baik tuan, saya juga penasaran dengan makanan ciri khas  lereng merapi" jawab Dubalang Mudo mengiyakan.

Ketika Adinata, Dubalang Mudo serta adik-adik seperguruan masing-masing sedang asyik menyantap makanan dan minuman tiba-tiba ada teriakan warga yang takut serta panik. "Ada sapi lepas mengamuk, ada sapi lepas mengamuk" teriaknya berulangkali. Ternyata sapi mbah Kromo, salahsatu pedagang pasar kaget di bukit klangon yang biasa untuk menarik gerobak mengamuk lepas dari ikatan. Tiba-tiba tanpa disangka, ada anak kecil berusia 5 tahun berbaju merah lewat di dekat sapi yang sedang mengamuk sambil makan jajanan pasar. Sontak sapi itu melihatnya dan kelihatan marah. Sapi itu berlari kencang menuju anak kecil tersebut seolah-olah ingin menyeruduknya. Menyadari bahaya yang ada anak kecil tersebut sontak menangis ketakutan.

"Bapak-bapak" teriak anak kecil berbaju merah itu sambil menangis ketakutan. Mendengar teriakan anaknya, ayah anak kecil itu yang sedang asyik melayani pembeli kaget setengah mati mengetahui nyawa anaknya terancam. Padahal ia berada dikejauhan. "Siapa saja tolong anaku" teriaknya sambil lari secepat kilat berusaha menolong anaknya. Namun apa daya jaraknya lumayan jauh dan tidak mungkin sempat menolong anak itu. Menyadari petaka yang akan terjadi jika tidak segera bertindak, Adinata berpikir cepat. Ia juga berjarak lumayan jauh dari anak kecil tersebut. Adinata seketika meraung sekuat tenaga layaknya harimau yang sedang marah. "Grrr grrr". Suaranya begitu menakutkan. Sapi yang sedang mengamuk itu berhenti seketika. Adinata dan Dubalang Mudo segera berlari kencang mendekati anak kecil tersebut. Setelah terdiam sesaat, sapi tersebut bergerak lagi dan mau menyeruduk anak tersebut dan untunglah Adinata berhasil menyambar anak kecil tersebut tepat sesaat setelah sapi yang mengamuk berusaha menyeruduk anak kecil tersebut.

Menyadari serangannya luput dari sasaran, sapi yang sedang marah itu semakin mengamuk. Ia lalu berlari kesana kemari dan menyeruduk apa saja yang ada dihadapannya. Penduduk desa dan para pelancong yang akan menyaksikan pertandingan silat di bukit klangonpun lari tunggang langgang. Banyak warung-warung yang rubuh karena diseruduk sapi yang sedang mengamuk. Melihat hal ini Adinata tidak bisa tinggal diam. Ia akan melumpuhkan sapi yang sedang mengamuk itu bahkan bila perlu membunuhnya. Belum sempat Adinata bertindak Dubalang Mudo mencegahnya. "Tuan Adinata, ijinkan saya mengatasi amukan sapi itu" kata Dubalang Mudo. Adinatapun memandang Dubalang Mudo. Namun melihat Dubalang Mudo yang tenang ia percaya bahwa Ia bisa mengatasinya. "Silahkan Datuk, tapi tetap berhati-hatilah" pesan Adinata. "Terimakasih tuan" jawab Dubalang Mudo.

Dubalang Mudo segera meloncat ke tengah lapangan. Ia mengeluarkan kain merah dan melambai-lambaikan kearah sapi yang sedang mengamuk itu untuk menarik perhatiannya. Segera setelah menyadari kehadiran dubalang mudo yang melambai-lambaikan kain merah, sapi itu menjadi semakin marah. Dengan cepat ia berlari kearah Dubalang Mudo dan menyeruduknya. Dengan secepat kilat, Dubalang Mudo menghindar kesamping dari serudukan sapi itu, kemudian ia menangkap kedua kaki belakang sapi dan menjegalnya. Sapi yang sedang mengamuk itupun kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Dengan cepat dubalang mudo segera mengikat kedua kaki sapi agar tidak berontak. Penduduk desa dan para pelancong yang menyaksikan atraksi itu bersorak kegirangan dan kagum dengan ilmu beladiri yang dimiliki oleh Dubalang Mudo. Adinatapun turut bertepuk tangan dan menyadari bahwa ia tidak bisa meremehkan pendekar muda dari Andalas itu.

Bersambung

Posting Komentar

0 Komentar