Pertarungan (Cerita Silat Harimau Merapi Jilid 6)


Diantara sekian banyak pengungsi, ternyata ada kedua orangtua paman gembul beserta kakeknya. Paman gembulpun tak sengaja bertemu ketika sedang mengantar makanan untuk para pengungsi bersama Nyi Lastri. "Gembul, kaukah itu, siapa gadis cantik yang bersamamu itu? tanya seseorang tiba-tiba. Paman gembul hapal dengan suara itu. "Eh, bopo dan Biyung, kenapa ada disini, saya sama sekali tak mengira" tanya paman gembul penasaran. "Iya Le, bopo dan biyung datang kesini mau menjenguk kakekmu, khawatir dengan keadaannya, apalagi beliau sudah tinggal sendirian sejak nenekmu meninggal, apalagi sekarang kabarnya di Kalibiru ini sedang ada pemberontakan" kata ibu paman gembul. "Eh, ini siapa le, kenapa tidak diperkenalkan simbok? bertanya ibu paman gembul sekali lagi. "Perkenalkan saya Lastri Mbok" kata Nyi Lastri dengan sopan. "Kenalkan saya Mbok Rejo, biyung dari gembul, dan ini suami simbok, Pak Rejo"jawab mbok rejo sambil mengenalkan orang yang duduk disampingnya.

"Kamu memang pintar cari calon istri le" puji mbok rejo pada paman gembul. "Ah, si mbok bisa saja, jadi pingin segera dilamarkan? kata paman gembul malu-malu. "Tentu saja le, nanti biar bopo yang melamarkan nak Lastri untukmu" kata Pak Rejo yang sedari tadi ada disitu sambil merokok dan minum kopi. "terimakasih Bopo" kata paman gembul dengan gembira. "Nak Lastri, bilanglah pada kedua orangtuamu, kami ingin bersilaturahmi secepatnya" kata Pak Rejo. "Baiklah bopo, nanti akan saya sampikan" jawab nyi Lastri sambil tersipu malu-malu.

"Oh, ya Bopo dan Biyung, kami permisi dulu ya, tugas kami belum selesai" pamit paman gembul. "oh, iya le, nanti main kesini lagi ya" berkata mbok Rejo. "jangan lupa ajak nak Lastri". "Baik Biyung" jawab paman gembul. Keduanya segera bergegas melanjutkan pembagian makanan kepada para pengungsi.

Malam harinya datang seorang teliksandi Mataram ingin menghadap Senopati Puspanidra. Teliksandi itu diterima di teras rumah Ki Gede Aryaguna. Di teras telah ada Ki Gede Aryaguna, Senopati Puspanidra, serta Adinata. "Sampaikan laporanmu paman prajurit" kata Senopati Puyspanidra. "Daulat tuanku. saya ingin melaporkan bahwa gerombolan pemberontak berbondong-bondong menuju kemari, sepertinya akan melancarkan serangan esok pagi" lapor teliksandi. "Oh, begitu rupanya" Senopati Puspanidra mengangguk-angguk. Tidak kelihatan sama sekali raut muka gentar di wajahnya. "Bagaimana pendapat Ki Gede?" tanya Senopati Puspanidra. "Menurutku kita harus sudah bersiap sekarang. Beritahu prajurit dan para pemuda agar menyiapkan senjatanya masing-masing untuk pertempuran besok" berkata Ki Gede Aryaguna. "Kalau menurutmu bagaimana Dimas Adinata?" Senopati Puspanidra meminta pendapat Adinata. "Kalau menurutku selain kesiapan fisik mentalnya juga harus tetap dijaga. Mereka harus yakin bahwa kita akan memenangkan peperangan melawan gerombolan pemberontak ini" berkata Adinata panjang lebar. Benar sekali Dimas Adinata, untuk kesiapan fisik kita berdua bisa menanganinya, untuk kekuatan mental biar Ki Gede Aryaguna yang akan memberikan nasihat dan petuahnya".

Tidak berapa lama kemudian datanglah Ambarwati beserta nyi lastri membawa makanan dan minuman. Wedang sere hangat beserta singkong goreng dan kacang rebus menjadi makanan penunda lapar malam itu. Namun ada sesuatu yang agak aneh. Ambarwati yang biasanya ceria nampak diam seperti ada yang dikhawatirkan. Dan Adinatapun menyadarinya. "Ki Gede Aryaguna, bolehkah ananda mengobrol dengan Nimas Ambarwati, ada yang ingin kami bicarakan" Adinata meminta izin. "Silahkan Nak Adinata, Ambarwati hanya sedang mengkhawatirkan keadaanmu saja" berkata Ki Gede Aryaguna dengan bijaksana. "Terimakasih Ki Gede, mari Senopati, saya undur diri sebentar" pamit Adinata. "Oh ya, silahkan Dimas, hibur Nimas Ambarwati, sepertinya ia khawatir sekali dengan keselamatanmu" jawab Senopati Puspanidra. Adinatapun kemudian menyusul ambarwati menuju taman di samping rumah. Ki gede Aryaguna dan Senopati Puspanidrapun hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum melihat tingkah polah dua insan lawan jenis yang sedang jatuh cinta itu.

Adinata melihat Ambarwati sedang duduk termenung di kursi taman. Adinatapun mendekati Ambarwati dan duduk di sebelahnya. "Nimas Ambarwati, sebenarnya ada apa gerangan sehingga wajahmu kelihatan sedih, Kakang kan jadi khawatir?" tanya Adinata. "Tidak ada apa-apa kakang" jawab Ambarwati datar. "Kamu tidak bisa membohongi aku Nimas, matamu berkata lain" berkata Adinata. Mata Ambarwati tiba-tiba berkaca-kaca. Dan ia tiba-tiba menangis. "Bersandarlah dipundakku Nimas, menangislah, biar beban dihatimu semakin berkurang" kata Adinata berusaha menghibur Ambarwati. "Kakang, sebenarnya aku sangat khawatir dengan keselamatan Bopo dan Biyung" Ambarwati menceritakan kekhawatirannya. "Tidak usah khawatir Nimas, kan ada aku, aku akan bertarung mati-matian untuk menjaga keselatan kalian" ujar Adinata. "Justru itu kakang, aku juga sangat mengkhawatirkan keselamatanmu, apalagi aku dengar pemimpin pemberontak itu adalah orang yang sangat sakti amndraguna dan sangat licik, aku jadi sangat khawatir kakang". "Tidak usah khawatir Nimas, percayalah sama kakang, selama ini kakang telah menempa diri dan sangat siap menghadapi keadaan seperti ini, dan juga serahkan semuanya kepada Tuhan, yakinlah akan kebesarannya. Semoga kita senantiasa diberi keselamatan. "Terimakasih kakang, aku jadi sedikit tenang sekarang" kata Ambarwati. "Sekarang tidurlah Nimas, biar aku melanjutkan bincang-bincang dengan Ki Gede dan Senopati Puspanidra" berkata Adinata. "Baiklah kakang, selamat malam" Ambarwati pamit menuju ke kamar untuk beristirahat.

Adinata kembali menuju ke teras rumah dimana Ki Gede Aryaguna dan Senopati Puspanidra masih duduk-duduk mengatur strategi. "Bagaimana Nak Adinata, apakah kamu sudah menemui Ambarwati?" tanya Ki Gede Aryaguna. "Sudah Ki Gede, Nimas Ambarwati cuma sedikit khawatir saja dengan pertempuran esok hari, sekarang Nimas sudah beristirahat di kamarnya" Adinata menjawab. "Oh, begitu, syukurlah kalau dia sudah sedikit tenang".

"Dimas Adinata, apa rencanamu untuk pertempuran besok?" bertanya senopati Puspanidra meminta pendapat. "Menurut saya kita harus bersiap menghadapi para pemberontak itu di tanah lapang di pinggir dusun. Supaya tidak menimbulkan kerusakan di Hargowilis ini. "Saya setuju dengan pendapatmu Nak, nanti biar anak perempuan dan anak-anak tinggal di dusun, yang laki-laki bersiap menghadapi pertempuran besok". "Oh ya Kakang Puspanidra, bolehkah saya pesan sesuatu?" tanya Adinata. "Apakah itu Adi, aku jadi penasaran?" Senopati Puspanidra keheranan. "Minta tolong untuk disampaikan kepada seluruh prajurit dan para pemuda agar besok sebelum maju berperang menyiapkan kapas untuk menutup telinga" pinta Adinata. "Baik Adi, nanti akan saya sampaikan" jawab senopati Puspanidra keheranan namun ia tidak bertanya lebih lanjut.

Setelah berbincang panjang lebar maka Adinata, Ki Gede Aryaguna dan Senopati Puspanidra segera bergerak untuk mempersiapkan segalanya untuk menghadapi pertarungan esok hari sesuai dengan rencana yang sudah dimusyawarahkan bersama.

Di tempat lain, di dapur umum, paman gembul sedang menemani nyi lastri memasak untuk persiapan pertarungan melawan gerombolan pemberontak. Paman gembul memperhatikan nyi lastri yang tampak sedih. "Ada apa dik Lastri, kenapa raut wajahmu kelihatan sedih?" tanya paman gembul keheranan. "Tidak ada apa-apa kakang" jawab nyi Lastri datar. "Jujurlah dik, aku siap mendengarkan, kamu tidak bisa berbohong dariku, kamu bilang tidak apa-apa tapi tatapan matamu mengatakan lain" tanya paman Gembul. "Iya kakang, jujur saja aku mengkhawatirkan keselamatanmu dan kelanjutan rencana pernikahan kita" jawab Nyi Lastri. "Oh, itu, tenanglah kamu dik, saya sudah belajar ilmu silat sama den Nata, Insyaallah semuanya akan baik-baik saja" kata paman gembul menghibur hati Nyi Lastri. "Oh begitu, syukurlah kakang, aku jadi agak tenang, tetapi kamu besok tetap harus berhati-hati ya" nasihat Nyi Lastri. "Siap tuan putri" jawab paman gembul sedikit bercanda. "Ah, kakang bisa saja" tersenyum nyi lastri sambil pura-pura memukul manja paman gembul. "Uhuy, jadi makan semur daging nih ye" para pemuda dan pemudi yang sedang asyik bekerja di dapur umum ikut menggoda nyi lastri.

Keesokan paginya para pemuda desa dan prajurit mataram, dengan dipimpin oleh Senopati Puspanidra, Adinata dan tak ketinggalan Ki Gede Aryaguna, dibelakangnya ada Ambarwati dan paman gembul. Mereka telah berada digaris depan memimpin pertarungan yang akan terjadi. Mereka menunggu para pemberontak datang dan menyerbu di pinggir lapangan dusun. Semuanya sudah siap siaga untuk bertempur. Perempuan dan anak-anak telah diungsikan ketempat yang aman.

Tidak berapa lama kemudian datanglah Ki Jangkung, Ki Gardapati, dan Ki Saraga, dibelakangnya ada Madhupa, murid ki Gardapati beserta anak buahnya. Mereka kini berhadap-hadapan dengan Ki Gede Aryaguna, Senopati Puspanidra, dan Adinata beserta Ambarwati dan paman gembul dibelakangnya.

"Untuk apa kalian datang kemari?" bertanya Ki Gede Aryaguna. "Hei tua bangka, kami akan meluluhlantakan bumi kalibiru ini" berkata Ki Jangkung dengan pongahnya. "Hei orangtua keblinger, apakah kamu telah membunuh prajurit mataram yang ada di kalibiru, dan apakah kamu juga memberontak terhadap mataram?" tanya Senopati Puspanidra. "Benar sekali, aku dan anak buahku telah banyak membunuh prajurit mataram, dan kami memang memberontak terhadap mataram, terus kamu mau apa bocah ingusan" jawab Ki Jangkung. "Oh, kalau begitu kami akan menumpas habis kamu dan anakbuahmu karena telah berani memberontak terhadap mataram kecuali kalian mau menyerahkan diri untuk mendapat hukuman" berkata Senopati Puspanidra dengan tegas. "Sudahlah, jangan banyak bacot, mari kita segera mulai pertarungan ini" berkata Ki Jangkung dengan congkaknya. 

Sebelum pertarungan dimulai tiba-tiba datang saudara seperguruan dari lereng merapi dan dari tebing breksi. Mereka adalah Bhadrika, Nismara, Wilalung dan Indraswari dari padepokan lereng merapi dan Bayuaji, Abiyasa, Admaja, serta Danurdara dari padepokan tebing breksi. "Kakang Adinata, kami diutus oleh guru untuk datang untuk membantumu" berkata Bhadrika mewakili saudara seperguruan dari padepokan lereng merapi. "Nimas Ambarwati kami juga diutus guru untuk datang membantumu" berkata Bayuaji mewakili teman-teman seperguruannya. Adinata dan Ambarwati sangat gembira melihat kedatangan saudara seperguruannya. "Terimakasih sekali kalian telah bersedia datang membantu" berkata Adinata.

"Ha ha ha, mau datang seratus orang dari kalian, kami tidak takut" berkata Ki Jangkung dengan congkaknya. "Hei, kamu jadi orangtua jangan terlalu sombong, bisa-bisa nanti kamu akan dipermalukan oleh para anak muda ini" nasihat Ki Gede Aryaguna. "Jangan berkoar-koar saja kamu Ki Gede, kita segera saja mulai pertarungan ini" tak sabar Ki Jangkung untuk bertarung.

"Kakang Adinata, apa yang harus kami lakukan?" bertanya Bhadrika mewakili saudara seperguruannya. "Menurutku kalian harus menyebar diantara para para prajurit dan para pemuda desa, jika pertarungan ini terpecah menjadi beberapa kelompok, kalian harus segera masuk ke kelompok yang pertandingannya tidak seimbang, bukankah begitu Kakang Senopati Puspanidra?" berkata Adinata dan meminta persetujuan Senopati Puspanidra. "Iya, saya sangat setuju dimas adinata, sebagai tambahan, kami akan menghadapi pemimpin dari para gerombolan pemberontak itu" jawab Senopati Puspanidra. "Terimakasih Kakang Adinata, dan tuan senopati atas arahannya" kata Bhadrika. Bhadrika dan saudara seperguruannya yang lain termasuk dari padepokan tebing breksi bersiap untuk menghadapi pertarungan.

"Serbu ... binasakan mereka" tiba-tiba Ki Jangkung berterika dan disahut oleh murid dan anak buahnya. Mereka langsung bergerak menyerang rombongan prajurit mataram dan para pemuda kalibiru. Para prajurit mataram dan pemuda kalibiru yang telah bersiap-siap segera bergerak untuk menghadapi serangan dari para pemberontak. "Ayo, tarik mereka dalam beberapa kelompok pertarungan" teriak Senopati Puspanidra memberi perintah pada para prajurit dan para pemuda kalibiru.

Sesuai dengan siasat yang telah direncanakan, terjadilah pertarungan yang terbagi mebjadi beberapa kelompok. Murid-murid perguruan dari lereng merapi dan tebing breksi segera memasuki kelompok-kelompok pertarungan itu agar menjadi seimbang dan bisa memenangkan pertarungan. Melihat ini Ki jangkung, Ki gardapati, Ki Saraga dan Madhupapun menjadi gusar. Mereka ingin turut memasuk ajang pertempuran namun segera dicegah oleh Ki gede Aryaguna. "Mau kemana kalian, mau lari ya, takut dengan kekuatan dan siasat kami" berkata Ki gede Aryaguna sengaja memancing kemarahan Ki Jangkung dan kawan-kawannya. "Kurang ajar kamu Ki Gede, kami sama sekali tidak takut, bersiaplah untuk menghadapi pertarungan ini" berkata Ki Jangkung dengan congkaknya.

"Dimas Adinata, terus siapa yang akan melawan mereka berempat?" bertanya Senopati Puspanidra. "Aku akan melawan Ki Jangkung, Kakang Puspanidra melawan Ki Gardapati, Ambarwati melawan Ki Saraga dan Madhupa biarlah dihadapi oleh paman gembul" jawab Adinata. "Nimas Ambarwati, paman gembul, apakah kalian siap menghadapi lawan kalian?" tanya Adinata meminta jawaban. "saya sanggup den Nata" jawab paman gembul. "Saya juga siap kakang" berkata Ambarwati dengan yakin.

Pertarunganpun segera dimulai. Ki Jangkung dengan ganasnya langsung menyerang Adinata. Namun dengan kelincahannya Adinata berhasil menghindar dari setiap serangan yang dilancarkan lawannya. Apalagi Adinata selain mempunyai kelincahan karena seringnya berlatih dengan Si Loreng temannya juga karena ia sekarang telah menguasai ilmu ringan tubuh yang diajarkan oleh Ki Gede Aryaguna. Senopati Puspanidra yang bertarung melawan Ki Gardapati juga tidak kalah menakutkan sekaligus mengagumkan. Ki Gardapati yang menyerang Senopati Puspanidra dengan ganasnya namun Senopati Puspanidra dengan lincahnya dapat menghindari setiap serangan lawanya. 

Di sisi lain, nampak Ambarwati sedang bertarung dengan Ki Saraga. "Menyerahlah anak manis, ikutlah denganku, kita akan bersenang-senang di Nusakambangan" berkata Ki Saraga si otak mesum dan mata keranjang. Pantas saja gelarnya Si Pemetik Bunga dari Nusakambangan. "Cuih, jangan banyak bicara kau Ki Saraga, akan aku kirim kamu ke neraka" berkata Ambarwati marah atas rayuan Ki Saraga. Ki Saraga langsung menyerang dengan senjata andalanya rantai panjang yang ujungnya terdapat mata kampak yang sangat tajam. Ki Saraga memutar-mutar senjatanya dengan cepat dan sesekali seperti mematuk dengan derasnya menuju badan Ambarwati. 

Untuk mengimbangi senjata dari Ki Saraga, Ambarwatipun mengeluarkan senjata pusaka andalannya tombak pendek dari kayu sonokeling yang ujungnya terdapat mata pisau yang sangat tajam, sama dengan yang dimiliki Ki Adanu gurunya. Akibatnya sungguh dahsyat, dua senjata sering beradu diudara dan perlahan-lahan keduanyapun mulai terluka terkena senjata andalan lawannya masing-masing. Adinata yang melihat Ambarwati mulai terluka menjadi khawatir. Ia berteriak meminta bantuan. "Ki Gede, tolong bantu Nimas Ambarwati". Ki Gede Aryaguna yang melihat putri kesayangannya terluka akibat senjata yang dimiliki Ki Saraga meskipun hanya goresan tipis menjadi khawatir juga. Ia segera ikut menyerang Ki Saraga. 

Ki Saraga yang mendapat serangan dari Ki Gede Aryaguna menjadi gusar. "Majulah kau tua bangka, temani anakmu ke neraka" teriak Ki Saraga. Ki Gede Aryaguna, meskipun dengan tangan kosong telah memecah konsentrasi Ki Saraga. Dengan ilmu ringan tubuh yang dimilikinya, Ki Gede Aryaguna meskipun usianya sudah tua dapat dengan lincah menyerang dan menghindar dari setiap serangan Ki Saraga.

Tak jauh dari Ambarwati dan Ki Gede Aryaguna bertarung melawan ki Saraga, nampak paman gembul bertarung melawan Madhupa, murid ki Gardapati. Madhupa menyerang dengan golok besarnya namun paman gembul dengan tenangnya melawan Madhupa dengan tangan kosong. Namun jangan salah sangka, paman gembul sekarang bukanlah pemuda dusun biasa, ia telah menerima gembelngan ilmu dari Adinata. Sedikit banyak ia telah menguasai jurus telapak geledek dan tendangan halilintar.

Dengan tangkasnya paman gembul menghindari setiap serangan dari Madhupa. Di saat yang sama ia balik menyerang Madhupa dengan jurus kepalan geledek ataupun tendangan halilintar yang dimilikinya. Meskipun masih terhitung pemula dalam menggunalan ilmu silat, akan tetapi kemampuan paman gembul sampai sejauh ini bisa dikatakan sangat mengagumkan. Perlahan tapi pasti paman gembul dapat mendesak Madhupa hingga terus mundur ke belakang. Menyadari hal ini Madhupa menjadi uring-uringan. Mulutnya mengeluarkan sumpah serapah. "Dasar manusia tak berguna, aku habisi kau" teriaknya sambil mengayun-ayunkan golok besarnya. "Buktikan saja, jangan terlalu banyak cingcong kamu" jawab paman gembul sambil sengaja membuat marah lawannya.

Kembali ke pertarungan Adinata, karena khawatir dengan keselamatan Ambarwati dan juga para pemuda desa Kalibiru ia ingin segera menyelesaikan pertarungan di tanah lapang tepi dusun itu. Ia meloncat mundur dari pertarungan kemudian memusatkan tenaga. Kemudian tanpa diduga, ia telah berteriak dengan keras dan mengeluarkan salah satu ilmu yang dikuasainya tanpa sengaja "Auman Harimau". Ia mengaum dengan sangat keras sehingga membuat telinga semua orang yang mendengarnya menjadi kesakitan luar biasa. Untunglah sebelumnya ia telah memberi pesan kepada seluruh prajurit mataram dan pemuda kalibiru untuk menyiapkan kapas penutup telinga.

Menyadari Adinata telah mengeluarkan jurus auman harimau, para pemuda kalibiru dan para prajurit mataram segera menutup telinganya dengan kapas yang telah disiapkan. Sehingga telinga mereka tidak terlalu sakit mendengar suara auman harimau dari Adinata. Namun berbeda dengan gerombolan para pemberontak, telinga mereka sangat kesakitan dan mulai mengeluarkan darah segar. "Serang" tiba-tiba Senopati Puspanidra berteriak memberi aba-aba, para prajurit dan pemuda kalibirupun sontak tersadar dan langsung menyerang gerombolan para pemberontak yang sedang lemah dan tidak mampu berkonsentrasi akibat suara auman harimau Adinata. Para pemuda kalibiru dan prajurit mataram dengan mudahnya menangkap atau bahkan membunuh gerombolan pemberontak yang melawan.

Namun tiba-tiba suara auman harimau itu berganti teriakan kesakitan yang luar biasa dari Adinata yang kemudian terjatuh tertelungkup. Rupanya ketika ketika ia sedang memusatkan kekuatannya untuk mengeluarkan jurus auman harimau, Ki Jangkung dengan liciknya telah menyerangnya menggunakan jarum beracun. Akibatnya sungguh di luar dugaan. Tubuh Adinata menjadi kaku dan membiru. "Kakang Adinata" teriak Ambarwati cemas luar biasa melihat kekasih hatinya jatuh tertelungkup dan badan yang kaku serta membiru. Mata Adinatapun terpejam karena rasa sakit luar biasa yang dirasakannya.

Bersambung


 

Posting Komentar

0 Komentar